Kamis, 11 Juni 2009

Sepucuk surat dari anak jalanan

Curhatku pada Tuhan
Oleh: Niken Rahadiani .M.

Angin sepoi menebarkan helai demi helai rambutku. Syahdu mengalir begitu saja, tanpa ada awal dan akhir. Titik-titik air hujan, masih menguntai nada, membasuh sukma.
Hembusan angin menerbangkan daun-daun rapuh dari tumbuahan tempatnya tumbuh dan hidup. Secarik kertas jatuh tepat pada telapak tenganku yang menengadah kepada air hujan. Membuat suatu “danau” kecil pada telapak tanganku dan kini, airnya lenyap diserap kertas itu. Perlahan, kertas kumal itu, kuangkat dan kubentangkan dibawah cahaya lampu yang remang. Basah… buram... .
-----
Surat itu tanpa judul. Hanya bertuliskan, “Curhatku pada Tuhan”. Tak ada pengarang, kapan surat tersebut dibuat, ditulis acak-acakkan pula. Aku hanya bisa menghela napas. Membaca satu per satu kata yang digoreskan oleh tinta pulpen itu. Berasal dari jiwa tanpa dasar.

----­-
“Ini hanyalah sekelumit kisahku dari jutaan duka dan suka yang aku alami. – begitulah dia memulai suratnya – Kisah perjalananku yang tak habis dimakan waktu. Peluh dan terik matahari yang setia menemaniku dalam kebahagiaan, dalam kesedihan dan pilu. Aku tinggal dikolong jembatan. Rumahku beratapkan kardus bekas yang aku pungut dari tong sampah. – dari kalimat itu, aku tahu, penulis surat itu adalah seorang anak miskin berpakaian kumal dan tidak beralas kaki. - pedih membayangkannya. – tiap pagi aku berangkat mencari nafkah. Letih rasanya kaki ini berkeliling kota Jakarta. Tak jarang kakiku menjadi pelampiasan batu-batu jalanan. Sakit. Berdarah. Tapi, itu semua tak menjadi pantanganku untuk terus mengais sampah demi mendapatkan uang untuk keluargaku. Kasihan adikku, tak bisa sekolah dan anya berbaring di lantai tanah, dibawah kolong jembatan. Tuhan, kapankah hari ini akan berakhir???.
Kadang, aku menjadi pemulung, berikutnya, aku menjadi pengemis. Hanya itu pekerjaan yang dapat aku geluti sekarang ini. Saat meminta dari rumah ke rumah, tak jarang aku mendapat hinaan dan makian. Walaupun kadang ada juga orang yang berbaik hati menawariku makan dan membekaliku uang serta makanan untuk keluargaku. Tuhan, itu nikmatku yang pertama.
Mengapa hati mereka bagai batu??? Tak ada belas kasihan yang menyelimuti. – Aku mulai sulit membaca paragraf ini.- Rasanya tak kuat lagi aku menahan semua kepedihan ini, Tuhan. Aku tahu mereka mempunyai banyak harta. Aku tahu mereka mempunyai “tahta dan mahkota”. Aku tahu kulit merekapun, bahkan tak pernah bersentuhan dengan apa yang pernah aku sentuh selama ini. Apakah yang mereka jijikkan dariku???. Sahabat, apakah kita bisa berteman? Walaupun aku aku tak pantas bagi kalian. Walaupun aku bermandikan debu setiap hari??? Tahukah kau, sahabat?? Aku sayang kalian.”
Suratnya begitu penuh makna dan kelembutan. Sejenak, kupandangi kertas itu dan melipatnya agar dapat kumasukan kedalam saku celanaku. Dan, berbisik pilu…
Sahabat, kita bisa berteman……

Tidak ada komentar: